Siapa bilang ditutupnya lokalisasi Dolly, kota Surabaya bisa bebas dari prostitusi. Buktinya, pekerja seks komersial (PSK) lambat laun kembali mengisi kehidupan malam kota pahlawan. Jika di sekitar bekas gang Dolly dan Jarak, prostitusi di sana dilakukan terselebung. Maka di sepanjang Jalan Diponegoro, kupu-kupu malam itu bisa dilihat jelas di sana. Seperti apa prakteknya? Berikut penelusuran Alqomar, wartawan Indonesia Pagi/Surabaya Pagi.
Upaya Pemerintah Kota Surabaya membersihkan praktek prostitusi, tampaknya tidak berjalan lancar. Pasca penggusuran tempat prostitusi legal, seperti Dolly, Jarak, Moroseneng, Sememi, Tambakari yang lebih dikenal BR (Bangun Rejo), kini para PSK dan mucikari kembali ‘bekerja’ lagi. Praktek mereka mulai kelihatan lagi di sekitar Jl Diponegoro dan jalan masuk makam Kembang Kuning.
Dari penelusuran Indonesia Pagi/Surabaya Pagi, PSK sangat mudah ditemui sepanjang Jl Diponegoro, sejak pukul 22.00 hingga dinihari. Mereka mangkal sambil duduk di atas sepeda motor, menunggu pelanggan. Memang berbeda dengan PSK Dolly yang masih cukup muda, PSK di Jl. Diponegoro berusia 30 tahun ke atas.
Tarifnya pun juga berbeda. Jika PSK di bekas Dolly itu Rp 350-500 ribu untuk short time, maka PSK di Jl. Diponegoro hanya menerapkan tarif Rp 150-200 ribu rupiah. Namun tidak dipungkiri Jl. Diponegoro ini makin hari makin banyak PSK yang mangkal di sana. Selain murah, juga terjamin ke amanannya dari razia petugas.
"Kalau di sini aman mas. Kalau ada petugas, langsung kabur bawa motor," ungkap Surtini (bukan nama sebenarnya), salah satu PSK yang mangkal di Jl Diponegoro saat ditemui tadi malam.
Wanita 33 tahun asal Tulungagung ini melanjutkan, setelah deal dengan pelanggannya, para PSK ini membawa tamu ke rumah yang disewakan untuk menginap. Rumah ini bukan hotel maupun losmen. Tepatnya di Kampung Sido Kumpul, dekat Dolly. Di kampung ini banyak rumah yang disewakan untuk menginap pasangan kumpul kebo dengan harga sewa sangat murah. “Rp 200 ribu saja mas, sama kamarnya," ucap Surtini.
Ia mengaku sebagai mantan PSK Dolly. Dulu dia tinggal di Wisma Madona. Namun karena tidak punya keahlian lain, ia terpaksa menekuni profesi lamanya sebagai pekerja seks komersial. Bagaimana jika ada razia polisi dan Satpol PP? Ditanya begitu, Surtini malah tertawa. “Udah gak ada razia bos…. Kalau ada razia, ya tinggal kabur aja. Dijamin aman," rayu Surtini.
Rahmad, warga Kembang Kuning membenarkan di sekitar kampunya banyak PSK yang mangkal tiap malam. Menurutnya, hal itu karena Pemkot kurang serius memberantas prostitusi. "Walikota iki setengah-setengah berantas prostitusi. Buktinya sekarang banyak PSK Diponegoro yang mangkal," ungkap pria kelahiran Madura ini.
Menurutnya, beberapa beberapa tahun lalu di kawasan Diponegoro ini tak seramai ini. "Dulu hanya bencong, PSK-nya cuma berapa. Sekarang sampean bisa lihat sepanjang Jl. Diponegoro dan sekitarnya, makin hari makin banyak saja. Seperti Dolly-Jarak dulu. Padahal di sini dekat masjid Rahmad (masjid pertama Sunan Ampel, red) dan makam," ungkapnya. n
Upaya Pemerintah Kota Surabaya membersihkan praktek prostitusi, tampaknya tidak berjalan lancar. Pasca penggusuran tempat prostitusi legal, seperti Dolly, Jarak, Moroseneng, Sememi, Tambakari yang lebih dikenal BR (Bangun Rejo), kini para PSK dan mucikari kembali ‘bekerja’ lagi. Praktek mereka mulai kelihatan lagi di sekitar Jl Diponegoro dan jalan masuk makam Kembang Kuning.
Dari penelusuran Indonesia Pagi/Surabaya Pagi, PSK sangat mudah ditemui sepanjang Jl Diponegoro, sejak pukul 22.00 hingga dinihari. Mereka mangkal sambil duduk di atas sepeda motor, menunggu pelanggan. Memang berbeda dengan PSK Dolly yang masih cukup muda, PSK di Jl. Diponegoro berusia 30 tahun ke atas.
Tarifnya pun juga berbeda. Jika PSK di bekas Dolly itu Rp 350-500 ribu untuk short time, maka PSK di Jl. Diponegoro hanya menerapkan tarif Rp 150-200 ribu rupiah. Namun tidak dipungkiri Jl. Diponegoro ini makin hari makin banyak PSK yang mangkal di sana. Selain murah, juga terjamin ke amanannya dari razia petugas.
"Kalau di sini aman mas. Kalau ada petugas, langsung kabur bawa motor," ungkap Surtini (bukan nama sebenarnya), salah satu PSK yang mangkal di Jl Diponegoro saat ditemui tadi malam.
Wanita 33 tahun asal Tulungagung ini melanjutkan, setelah deal dengan pelanggannya, para PSK ini membawa tamu ke rumah yang disewakan untuk menginap. Rumah ini bukan hotel maupun losmen. Tepatnya di Kampung Sido Kumpul, dekat Dolly. Di kampung ini banyak rumah yang disewakan untuk menginap pasangan kumpul kebo dengan harga sewa sangat murah. “Rp 200 ribu saja mas, sama kamarnya," ucap Surtini.
Ia mengaku sebagai mantan PSK Dolly. Dulu dia tinggal di Wisma Madona. Namun karena tidak punya keahlian lain, ia terpaksa menekuni profesi lamanya sebagai pekerja seks komersial. Bagaimana jika ada razia polisi dan Satpol PP? Ditanya begitu, Surtini malah tertawa. “Udah gak ada razia bos…. Kalau ada razia, ya tinggal kabur aja. Dijamin aman," rayu Surtini.
Rahmad, warga Kembang Kuning membenarkan di sekitar kampunya banyak PSK yang mangkal tiap malam. Menurutnya, hal itu karena Pemkot kurang serius memberantas prostitusi. "Walikota iki setengah-setengah berantas prostitusi. Buktinya sekarang banyak PSK Diponegoro yang mangkal," ungkap pria kelahiran Madura ini.
Menurutnya, beberapa beberapa tahun lalu di kawasan Diponegoro ini tak seramai ini. "Dulu hanya bencong, PSK-nya cuma berapa. Sekarang sampean bisa lihat sepanjang Jl. Diponegoro dan sekitarnya, makin hari makin banyak saja. Seperti Dolly-Jarak dulu. Padahal di sini dekat masjid Rahmad (masjid pertama Sunan Ampel, red) dan makam," ungkapnya. n
No comments:
Post a Comment